Zuhud adalah salah satu perilaku seseorang yang membenci dunia atau dengan kata lain menghindari sifat keduniawian (mencintai dunia). Terkadang zuhud bisa diartikan dengan wara’ (wira’i) atau berhati-hati dalam menikmati dunia dan menjalani hidup.
Pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in sampai era salafussalih, banyak sekali orang yang masih menjalani hidup dengan zuhud. Bahkan pada masa salafussalih, banyak terlahir ulama-ulama yang zahid (zuhud), diantaranya Imam Ghazali, Imam Atho’illah, Ibrahim ad-Dahm, Sufyan ats-Tsauri, Hasan Basri, sampai seorang zahid perempuan, yaitu, Rabi’ah al-Adawiyah dan masih banyak lagi. Hal ini tidaklah mustahil, karena penjelasan tentang masa/era, pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. Dimana beliau bersabda “Orang-orang Mukmin yang terbaik adalah Mukmin pada masa-ku, kemudian masa sahabatku, lalu pada masa pengikut sahabatku (tabi’in) dan seterusnya”.
Perilaku zuhud yang dijalani oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in sangat berbeda-beda. Karena disamping perbedaan masa, juga karena kemampuan dan godaan yang ada di masanya yang berbeda. Namun, hakekat zuhudnya hampir sama yaitu menjauhkan diri dari sifat keduniawian.
Berbicara zuhud pada zaman sekarang ini, sangat sulit menebak siapa yang zahid dan sulit menjalankannya. Akan tetapi, beberapa tokoh zahid pada masa sekarang tidaklah sedikit, cuma sulit mendeteksi secara gamblang ulama-ulama yang zahid tersebut. Menurut saya sendiri, ada beberapa ulama yang familiar yang masih berperilaku zuhud, diantaranya alm. Gusdur, alm. Mbah Liem, Habib Luthfi dan masih banyak lagi yang tidak saya sebut satu persatu.
Ada salah satu maqolah ulama yang menjelaskan, bahwa zuhud pada zaman sekarang ini sangat sulit diterapkan seperti halnya zuhud-zuhud pada masa dahulu. Karena disamping zaman yang berbeda juga penerapan yang sedikit berubah. Perilaku zuhud tidaklah harus dengan platform (model) yang bernuansa sufisme, seperti pakaian yang kusam, memakai jubah yang sederhana, berpola tingkah seperti orang miskin dan lain sebagainya. Namun, yang lebih penting dari sikap zuhud adalah kesucian hati dan kebersihan jasad dari hal-hal yang haram serta berhati-hati (wira’i) dalam menikmati dunia dan menjalani hidup.
Contohnya, ketika seseorang ingin berperilaku zuhud pada masa sekarang, maka tidaklah sulit, hanya cukup dengan memiliki dunia dan tidak mencintainya. Artinya apa, ketika seseorang memiliki sejumlah uang dan tiba-tiba ada orang yang ingin meminta zakat/sedekah atau orang yang lebih membutuhkan atau untuk fi sabilillah, maka uang tersebut harus diberikannya berapa pun nominalnya. Sebab, dengan menanamkan sikap loman (dermawan) maka akan muncul sikap zuhud dengan sendirinya. Atau dengan kata lain, zuhud dalam arti yang sederhana adalah memiliki harta dunia tanpa mencintainya.
Dan contoh ini pernah diterapkan oleh alm. Gusdur. Ceritanya, pada suatu waktu Gusdur tidak punya uang sepeser pun, kemudian beliau berniat meminjam uang untuk keperluan keluarganya pada salah seorang teman sesama pengurus PBNU. Setelah beliau mendapatkan pinjaman 2,5 juta, tak disangka, datanglah seseorang yang bertamu ke rumah beliau untuk meminjam uang, lalu tanpa sungkan (eman-eman) beliau berikan uang hasil pinjaman dari temannya itu sebesar 1,5 juta dan sisanya beliau pakai untuk keperluan hidupnya. Subhanallah
Maka dari itu, di saat kita memiliki harta dunia dan bersamaan dengan itu, ada orang lain yang lebih membutuhkan atau untuk fi sabilillah, maka kita berusaha tidak sungkan-sungkan (eman-eman) untuk menyerahkannya secara ikhlas pada orang dan fi sabilillah tersebut. Itulah zuhud dalam arti yang paling ringan, mudah dan sederhana.
Wallahu A’lam
al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
19-10-13, Kaliwungu Kota Santri
ADS HERE !!!