Hari ini adalah hari bersejarah, hari yang biasa orang Islam menyebutnya dengan hari ‘Asyura atau hari kesepuluh dalam bulan Muharram. Kenapa bersejarah? Itulah pertanyaan yang sederhana namun punya makna. Diantara jawabannya adalah, karena pada hari itulah sejumlah Nabi punya memori (kenangan) yang tidak dapat terlupakan dan punya nilai historis yang bernuansa religis. Pada hari itulah; Allah menciptakan Nabi Adam, Allah Menciptakan nur Muhammad, Allah menyelamatkan Nabi Nuh dari banjir bandang, Allah mengeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan Hut, Allah mengampuni dosa Nabi Daud, Allah menyembuhkan penyakit Nabi Ayub, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Raja Fir’aun dan bala tentaranya, Allah mengabulkan doa Nabi Musa dan Harun, Allah menyelamatkan Nabi Ibrahim dari kobaran api dan masih banyak riwayat-riwayat lainnya.
Di samping itu, hari ‘Asyura juga punya sejarah penting bagi umat Nabi Muhammad saw. Ada salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, disitu dijelaskan; bahwa sebelum diwajibkannya (disyari’atkannya) puasa Ramadhan, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Quraisy berpuasa di hari ‘Asyura dan Rasulullah pun menyuruh umatnya untuk berpuasa pada hari itu, karena menurut Rasulullah, yang paling berhak adalah umat Islam bukan umat yang lain. Ada juga hadits yang menceritakan; suatu hari di hari ‘Asyura para sahabat bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah, pada hari ini orang-orang Yahudi sedang berpuasa untuk mengingat diselamatkannya Nabi Musa dan kaumnya oleh Allah dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Apakah kami juga disunnahkan berpuasa? tanya para sahabat. Rasulullah menjawab: “Kalian lebih berhak terhadap Nabi Musa (untuk berpuasa) daripada mereka.”
Dari penjelasan singkat di atas, ada beberapa point penting tentang pentingnya mengingat kejadian atau peristiwa sejarah yang bernuansa positif atau berupa nikmat Allah swt. yang diberikan kepada seseorang. Karena disamping sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt. juga sebagai ibrah (pelajaran) bagi perjalanan kehidupan di masa datang. Saya contohkan kisah diselamatkannya Nabi Nuh oleh Allah swt. dari banjir bandang yang maha dahsyat. Jika ditelisik lebih jauh, bahwa Nabi Nuh adalah Nabi yang sangat sabar dan arif (bijaksana) dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah, yaitu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Namun, di tengah-tengah dakwah beliau, ternyata istri dan anaknya sendiri menjadi pembangkang dan penghambat dakwahnya. Sehingga akhirnya istri dan anaknya sendiri menjadi korban dari azab yang ditimpakkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang yang ingkar dan durhaka terhadap nikmat Allah. Diselamatkannya Nabi Nuh, beberapa anak dan pengikut setianya adalah nikmat besar yang diberikan Allah swt. Dengan nikmat itulah, Nabi Nuh dan pengikut setianya mulai menata dan menatap kembali masa depan dan hari esok yang cerah dan lebih baik.
Dakwah Yang Bijaksana
Bahwa siapa pun dan status apa pun dalam keluarga, ketika mereka berusaha menghalangi (mengkafir-kafirkan, membid’ah-bid’ahkan dan mensyirik-syirikan) dakwah dan aqidah kita. Maka sebaiknya mereka dinasihati terlebih dahulu sebelum kita menjauhinya dalam arti positif. Karena pada zaman sekarang, munculnya aqidah-aqidah yang meresahkan umat Islam dan seolah-olah merasa paling benar, merupakan tantangan bagi kita untuk meluruskannya kembali. Mereka kebanyakan bukanlah karena salah jalan, namun lebih karena kekurangtahuan akan ilmu dan pengetahuan lebih luas lagi.
Sebagaimana kita ketahui bersama, akhir-akhir ini banyak pemuda dan pemudi di Indonesia yang berseberangan aqidah dengan orang tuanya. Banyak sebab yang menjadikan mereka berbeda pemahaman dengan orang tuanya, dari mulai tentang amalan ibadah, pemakaian hadits sampai penafsiran Al-Qur’an yang terlalu kaku atau sempit.
Sebagai penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, saya merasa tergerak untuk memberikan pencerahan tentang meruaknya perbedaan pemahaman di kalangan masyarakat akhir-akhir ini. Satu contohnya adalah perayaan tahun baru Islam dan hari ‘Asyura (10 Muharram) dengan pembacaan surat Yasin 3x pada tanggal 1 Muharram dan dzikir Hasbiyallah 70x pada tanggal 10 Muharram. Mereka (wahabi) berpendapat bahwa amalan ini mengandung unsur bid’ah, sedangkan Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa ini adalah bid’ah hasanah karena merupakan tradisi ulama-ulama dahulu (generasi salafussalih) yang sangat baik dan perlu dilestarikan.
Perbedaan persepsi antara mereka dan Ahlussunnah wal Jama’ah barangkali lebih pada pengambilan sumber hukum dan perbedaan cara penafsiran Al-Qur’an dan Hadits. Semua perbedaan itu bisa diselesaikan dengan baik apabila mereka mau menghargai perbedaan dan keragaman dari banyaknya cabang-cabang ilmu agama.
Namun, yang sangat disayangkan adalah perilaku mereka dalam memvonis aqidah-aqidah di luar aqidah mereka terutama penganut aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai aqidah yang berbau bid’ah dan syirik. Bahkan, terkadang mereka berani memusnahkan (membabat habis) orang-orang Ahlussunnah wal Jama’ah dengan cara kekerasan dan ancaman. Ini tidak mustahil, karena aqidah mereka lebih didasari oleh emosional dan tidak mau kalah atau mengaku paling benar.
Bukti bahwa aqidah mereka didasari oleh sikap emosional (keras kepala) adalah ketika mereka diajak dialog oleh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah dan mereka kalah argumen, mereka tidak akan mengakui kekalahannya walaupun disaksikan oleh banyak orang. Karena mereka punya sikap keras kepala sebagaimana orang-orang munafik zaman Rasulullah. Perbedaan ulama mereka dengan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah juga sangat banyak sekali. Ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah lebih tawadhu’ (rendah diri), sedang ulama mereka banyak yang tidak tahu diri (riya’ dan emosional).
Ini semua dapat dinilai secara kasat mata oleh kita semua. Bahwa mereka yang dengan seenaknya membid’ah-bid’ahkan, mengkafir-kafirkan dan mensyirik-syirikkan amalan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mereka yang punya sifat seperti orang-orang munafik zaman Rasulullah. Yaitu merasa paling benar dan tidak mengakui kekalahan ketika kalah dalam menunjukkan dalil-dalil hukumnya. Mereka lebih mengedepankan sikap emosional dalam mengambil hukum dan terlalu kaku (sempit) dalam menganalisa hukum yang ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Padahal bidang dan cabang keilmuan agama dalam Islam sangatlah banyak dan luas.
Mudah-mudahan kita semua sadar, bahwa perbedaan adalah rahmat dari Allah ketika semua komponen umat mau menyikapinya dengan arif dan bijaksana. Kita semua boleh berbeda-beda persepsi, tetapi janganlah kaum yang satu menyerang kaum yang lain dengan vonis bid’ah maupun syirik dengan seenaknya. Seolah-olah kaumnya lebih suci dan lebih benar dari kaum lainnya. Padahal Allah menegaskan dalam QS. Al-Hujurat: 11 “Janganlah suatu kaum mengolok-olok (memvonis) kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok)…”.
Wallahu A’lam
Al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
14-11-13, Kaliwungu Kota Santri