Gus Dur semakin dekat dengan Kiai Ma'ruf setelah peristiwa Tanjung Priok 1984. Gus Dur menemukan kawan dalam perjuangan mengembangkan NU bersama kiai yang menguasai khazanah klasik kitab kuning, terbuka untuk mengkaji kitab modern, dan selalu mengikuti perkembangan melalui media.
Setiap hari Kiai Ma'ruf membaca tiga surat kabar nasional. Majalah mingguan pun juga dibacanya. Beliau berprinsip lebih baik tidak punya kendaraan pribadi daripada ketinggalan informasi.
Gus Dur sering diundang dalam acara yang diadakan oleh Yayasan Al-Jihad, khususnya dalam upaya mensosialisasikan hubungan Islam dan Pancasila kepada para ulama dan mubaligh.
Gus Dur juga beberapa kali meminta Kiai Ma'ruf menggantikannya berceramah seperti pada acara Akhirussanah (akhir tahun pelajaran) di Pesantren Al-Ishlahiyah Singosari Malang tahun 1987. Kiai Ma'ruf yang saat itu menjadi Wakil Ketua LDNU Wilayah Jakarta, menggantikan Gus Dur yang berhalangan hadir.
Melalui Gus Dur pula, Kiai Ma'ruf disarankan untuk sowan kepada para ulama waskita, antara lain Kiai Hamid Kajoran, Magelang.
Saat pertama kali sowan ke Kajoran, Kiai Hamid sedang kurang sehat dan berbaring di ranjangnya. Sementara para tamu lain duduk bersila di bawah. Kiai Ma'ruf diminta oleh Kiai Hamid Kajoran untuk duduk di atas kasur bersamanya. Ulama yang disebut sebagai waliyullah itu meminta Kiai Ma'ruf untuk berziarah ke makam Syekh Belabelu di Parangtritis.
Kiai Ma’ruf memenuhi anjuran Mbah Hamid Kajoran itu. Ia pergi ke Pamancingan, Parangtritis, makam Syekh Belabelu atau Raden Jaka Bandem, putra dari Raja Brawijaya V dan murid Syekh Maulana Maghribi.
Tiba di lokasi pemakaman, seseorang yang tampaknya sudah menunggu, segera menyapanya. "Anda, Ma'ruf Amin, ya?" ujar orang itu menyapa ramah. "Iya betul," jawab Kiai Ma'ruf.
"Anda akan mendapat amanah besar, Insyaallah," ujarnya menyambung. Kiai Ma'ruf tak sempat berkomentar dan bertanya lebih lanjut hingga tak sadar orang yang menyambutnya itu sudah pergi.
|
Kiai Ma'ruf Amin bersama Keluarga Gus Dur |
Tak lama berselang sejak pertemuan dengan sosok misterius itu, berlangsung Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dalam hajat tertinggi PBNU ini, KH Achmad Siddik terpilih sebagai Rais 'Aam dan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah.
Kiai Ma'ruf Amin dipercaya sebagai Katib Syuriyah pada struktur PBNU yang kemudian nama posisi ini menjadi Katib 'Aam Syuriyah. Sejak menjadi katib inilah kealiman Kiai Ma'ruf mulai menonjol dan produktif menelurkan pemikiran-pemikiran baru.
Jabatan itu merupakan lompatan karirnya di PBNU, karena sebelumnya ia belum masuk dalam struktur di tingkat PBNU. Posisi ini tak lepas dari usulan Gus Dur. Posisi ini pula yang pernah diduduki Gus Dur dalam PBNU periode 1979-1984.
Sebagai katib, Kiai Ma'ruf mulai rutin berkantor di PBNU. Ia menyiapkan konsep sistem pengambilan keputusan hukum berdasarkan manhaji (metodologi) yang dibahas secara dinamis dalam Munas NU di Lampung tahun 1992.
Dalam Munas ini dibahas pula hukum perbankan dan rencana mendirikan bank NU, sebuah isu yang kemudian menjadi spesialisasinya.
Hasil Munas Lampung ini merupakan lompatan pemikiran para ulama NU. Majalah AULA edisi April 1992 menyebutnya dengan "Pintu Ijtihad Sudah Ketemu Kuncinya".
Dalam istilah Kiai Ma'ruf, Munas Lampung merupakan periode tajdidi (pembaruan) dalam tubuh NU, yakni merumuskan konsepsi untuk menghadapi konservatisme pemikiran menuju dinamisasi.
Suksesnya bahtsul masa'il dalam Munas Lampung itu tak lepas dari tangan dingin Kiai Ma'ruf sebagai katib syuriyah. Pelaksanaan bahtsul masa'il tak terganggu oleh situasi internal NU yang cukup pelik, akibat pengunduran diri KH. Ali Yafie sebagai Wakil Rais 'Aam dan Pejabat Pelaksana Rais 'Aam sepeninggal almagfurlah KH. Achmad Shiddiq.
Munas itu kemudian menetapkan KH. Moh. Ilyas Ruchiat sebagai Pejabat Pelaksana Rais 'Aam. Dengan demikian, sebagai katib, Kiai Ma'ruf melayani dua Rais 'Aam.
Dalam Muktamar ke-29 di Pesantren Cipasung 1994, Kiai Ma'ruf menjadi Rais Syuriyah urutan ketiga, di bawah KH. Nahrowi Abd. Salam dan KH. Syafi’i Hadzami.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU