Ma’hadut Tholabah, sebuah Ponpes besar yang berada di kabupaten Tegal bagian selatan, tepatnya di kampung Babakan, Lebaksiu, Tegal. Dulu, sewaktu saya masih menggayuh ilmu di pesantren ini, saya terkesan dan tertunduk hormat pada sosok kyai yang mengasuh pesantren, beliau adalah alm. Abah KH. Abdul Malik Mufti. Beliau sangat sabar, tawadhu’ dan disiplin dalam mendidik santri-santrinya.
Saya teringat ketika setiap pagi hari sebelum shalat subuh berjama’ah (kira-kira jam 04.00), beliau sangat rutin membangunkan santri-santrinya untuk menjalankan shalat subuh berjama’ah di Musholla pondok, padahal waktu itu beliau sudah berusia kurang lebih 70 tahun. Sungguh, sebuah kebiasaan seorang kyai yang jarang terdengar pada zaman sekarang ini. Dengan seusia beliau yang sudah sepuh (red. tua sekali), beliau dengan sabar dan telaten mendidik santri-santrinya yang berjumlah kurang lebih 1000 santri.
Dari tindak tanduk dan akhlak beliaulah, saya sangat terkesan dan tertunduk hormat. Beliau tidak segan menyuruh santri-santrinya untuk boyeh (red. piket nyapu) dan ro’an (red. kerja bakti) dengan terjun langsung ke lapangan dan menemani para santrinya dalam kegiatan boyeh dan ro’an tersebut. Hal ini juga jarang sekali terdengar di kalangan para pengasuh pesantren di zaman sekarang.
Dari sebagian kecil kisah dan pengalaman yang saya alami sendiri itulah, saya hanya bisa merenung dan berusaha meniru apa yang pernah kyai (guru) saya contohkan kepada saya pribadi dan para santri Ma’hadut Tholabah lainnya. Kisah ini adalah sebuah tauladan yang sangat baik bagi para santri dan alumni santri yang akan melanjutkan tongkat estafet para ulama, sebagai calon-calon pensyi’ar syari’ah (ajaran) Islam. Bahwa dalam keadaan, posisi dan kedudukan apa pun serta usia berapa pun, kita jangan terlalu menjaga jarak dan merasa pesimis dalam mendidik dan membimbing umat menuju jalan yang diridhai-Nya, yaitu jalan “Shirathal Mustaqim”, jalannya para Nabi dan Rasul. Kesabaran, ketawadhu’an dan ketelatenan beliau dalam mendidik santri-santrinya adalah tauladan yang patut ditiru oleh kita semua.
PPTQ Al-Asror, adalah salah satu nama pesantren dari puluhan pesantren yang ada di Kota Santri Kaliwungu, Kendal. Lebih tepatnya berada di samping Masjid Besar Al-Muttaqin Kaliwungu. Ada hal-hal yang menarik yang masih terekam dalam ingatan saya di pesantren ini. Diantaranya, para santri ditekankan untuk bersikap peduli, bisa menguasai pekerjaan yang bersifat fisik dan tidak terlalu banyak leyah-leyeh (nganggur). Dan sosok yang mendidik dan mengajarkan hal itu adalah Abah KH. Nidhomuddin Asror. Beliau dikenal sangat dekat dengan masyarakat dan luwes dalam bergaul. Sehingga masyarakat dan santri merasa tidak ada sekat dengan beliau. Mungkin karena keluwesan, kesederhanaan dan kedermawanan beliaulah yang menjadikan masyarakat dan santri menaruh hormat dengan beliau, disamping segi keilmuan yang dimilikinya.
Kedisiplinan, ketelatenan dan kehangatan beliau dalam mendidik santri-santrinya adalah sesuatu yang menjadi ciri khas tersendiri bagi beliau. Terutama dalam hal kegiatan pondok yang bersifat fisik, dari mulai ro’an pondok, ro’an kebun, ro’an bangunan dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para santri di pesantren ini, menurut beliau, agar santri tidak hanya menguasai hal-hal yang bersifat teori (Al-Qur’an dan kitab kuning) saja, santri juga harus bisa bersih-bersih, berkebun, bangunan dan hal-hal yang bersifat fisik lainnya. Karena, ketika santri sudah terjun ke masyarakat, santri sudah bisa menguasai ilmu-ilmu agama juga ilmu-ilmu kemasyarakatan. Jadi, nantinya santri tidak canggung lagi ketika diajak kerja bakti atau hal-hal yang bersifat fisik lain oleh masyarakat di daerahnya masing-masing. Yang paling berkesan bagi saya adalah pesan dan nasihat beliau tentang hadits Nabi saw. “Khoirunnas anfa’ahum linnas”, Sebaik-baik kalian (manusia) adalah kalian yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat ilmu, harta maupun tenaganya. Jangan sampai para santri hanya menjadi sampah masyarakat, tanpa ada guna dan manfaatnya.
Yanbu’ul Qur’an, sebuah pesantren tahfidz yang berada di sebuah kota yang konon katanya, satu-satunya yang berbahasa Arab, Qudus (Kudus) nama kota tersebut. Pesantren ini lebih fokus pada pengajaran hafalan Al-Qur’an dan Qira’ah Sab’ah. Walaupun di kemudian hari berkembang menjadi beberapa cabang, diantaranya PTYQ Pusat, PTYQ Remaja, PTYQ Anak-anak, MUSYQ Putra dan Putri. Semua cabang tersebut berpusat di PTYQ Pusat dan pengasuh pesantren ini adalah dua bersaudara yang merupakan putra dari seorang ulama besar, mualif kitab “Faid al-Barakah fi as-Sab’I al-Qira’at”,yaitu Mbah KH. M. Arwani Amin Sa’id. Dua putra beliau adalah Abah KH. M. Ulin Nuha Arwani dan Abah KH. Ulil Albab Arwani, yang sampai sekarang masih mengasuh pesantren ini.
Ada beberapa kesan menarik yang saya tangkap ketika saya masih menuntut ilmu di pesantren ini. Beliau berdua adalah sosok kyai yang menurut saya saling melengkapi dalam mengemban amanah dari abahnya, yaitu mengasuh dan mendidik santri-santri Yanbu’ul Qur’an. Kedisiplinan dan ketawadhu’an yang dimiliki oleh Abah KH. Ulin Nuha serta kesabaran dan keuletan yang dimiliki Abah KH. Ulil Albab adalah sebagian kecil diantara kelebihan yang dimiliki beliau berdua dalam mendidik santri-santri Yanbu’ul Qur’an.
Saya teringat ketika setiap beliau (Abah KH. Ulin Nuha) mengajar kitab Tafsir Jalalain dan saat memberikan Mauidhah Hasanah. Beliau selalu berpesan pada santri-santrinya, bahwa dalam mengarungi kehidupan, perbanyaklah dan latihlah hati kalian untuk senantiasa Husnudhan (berbaik sangka) kepada Allah swt. dan makhluk-Nya. Dengan terbiasa berbaik sangka, maka akan melahirkan hati yang bersih dan dapat selalu mengambil hikmah dalam setiap peristiwa kehidupan yang kita jalani ini. Saat kita mendapat nikmat, maka sudah seharusnya kita bersyukur dengan tidak melupakan orang-orang yang membutuhkan kita, dengan sedekah ataupun zakat. Saat kita terkena musibah, maka sudah seharusnya kita bersabar, karena dibalik musibah itu pasti ada hikmah yang tersembunyi di dalamnya dan itu menunjukkan bahwa Allah swt. sayang kepada kita. Karena kebaikan dan keburukan adalah bagian dari ujian Allah swt. kepada manusia, apakah manusia mau bersyukur dan bersabar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini yang hanya sementara?
Selain itu, ada juga sikap ketawadhu’an beliau yang pernah saya alami sendiri. Saat saya sowan kepada beliau untuk minta izin boyong dan minta tanda tangan, beliau dengan ramah dan hangat menerima saya. Beliau bertanya “Sampeyan mau kuliah dimana, ko’ minta tanda tangan segala (sambil tersenyum hangat)?” “Insya Allah di PTIQ Bah”, jawab saya. “Ya sudah, mudah-mudahan ilmunya bermanfaat” pesan beliau. Beliau lalu berbicara sama Umi (Nyai Hj. Ishmah Abdullah Salam), “Mi, ni ada kang yang mau kuliah di PTIQ”, Umi menimpali “Nggeh kang, mau kuliah di PTIQ”. “Nggeh Mi, Insya Allah” sahut saya. Setelah itu, karena sudah ditunggu Umi mau tindhakan (pergi), beliau lalu bertanya “Mpun nggeh kang?”, “Nggeh, Bah” jawab saya. Walaupun di kemudian hari, kehendak Allah swt. bertolak belakang dengan apa yang pernah saya rencanakan. Karena akhirnya saya tidak jadi kuliah di PTIQ dengan sesuatu sebab. Namun, Alhamdulillah, berkat doa restu beliau saya bisa kuliah di universitas lain sampai selesai.
Ketawadhu’an beliau juga dibuktikan dengan cara berbicara beliau dengan orang lain dengan bahasa Jawa yang halus, khususnya para alumni Yanbu’ul Qur’an. Bahkan, menurut cerita tutur, saat beliau mondok di Kajen, Pati, tepatnya di pondok yang diasuh Mbah KH. Abdullah Salam yang tidak lain adalah murid/santri Abah beliau. Selama kurang lebih tiga tahun, teman-teman beliau di pondok tersebut tidak tahu kalau sebenarnya beliau adalah putra dari salah satu guru kyainya. Itulah diantara sikap tawadhu’ beliau.
Kesan menarik juga saya dapatkan dari beliau (Abah KH. Ulil Albab), beliau adalah sosok yang ulet dan sabar. Diantara keuletan beliau adalah, setiap ada kesempatan beliau selalu berusaha menghabiskan waktu dengan membaca, terutama saat menghadiri undangan santri di Aula dan di mobil. Dari keuletan itulah, beliau telah mengeluarkan sebuah karya yang berhubungan dengan cara membaca Al-Qur’an, yaitu metode “Yanbu’a”. Metode ini sudah tersebar di daerah karesidenan Pati dan sekitarnya serta di daerah para alumni Yanbu’ul Qur’an yang hampir tersebar dimana-mana sampai Malaysia dan Brunei Darussalam.
Selain itu, beliau juga sosok kyai yang sabar dalam mengajar dan menyimak santri-santri yang setor ngaji di kediaman beliau setiap pagi hari selain hari Jum’at. Sedang yang setor ngaji di kediaman Abah KH. Ulin Nuha adalah santri yang sudah dapat 20 juz pada beliau.
Inilah salah satu kebersaman, kekompakkan dan saling menyempurnakan sosok dua kyai yang ‘alim, tawadhu’, sabar, disiplin dan ulet dalam mengemban amanah abah beliau berdua dalam mendidik dan mengasuh santri-santri Yanbu’ul Qur’an.
Mudah-mudahan, apa yang saya tutur dan kisahkan ini, menjadi bagian dari renungan dan kenangan saya dalam mengingat jasa-jasa para Masyayikh saya, yang selalu saya harapkan do’a dan barokah ilmunya dari beliau-beliau. Saya yang faqier ini hanyalah bagian kecil dari santri beliau-beliau yang berusaha mencontoh dan mengamalkan apa yang pernah al-faqier saksikan dan dapatkan dari pesantren yang beliau-beliau asuh. Semoga jasa dan ilmu yang beliau-beliau ajarkan kepada santri-santrinya menjadi amal jariyah yang senantiasa mengalir sampai ke akhirat nanti dan menjadi amal ibadah yang diterima Allah swt. Amien Ya Robbal ‘Alamin…
Wallahu A’lam
al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
11-12-13, Kaliwungu Kota Santri