A. Permasalahan
Pertanyaan dalam judul itu muncul karena pendapat organisasi garis keras bernama Hizbut Tahrir Indonesia yang menganggap Indonesia sebagai negara kafir. Hizbut Tahrir didirikan oleh Syekh Taqiyudin An-Nabhani di Lebanon. Dan pertama kali masuk di Indonesia tahun 1972, sehingga dinamai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Juru bicara HTI ialah Ismail Yuswanto. Akhir-akhir ini, HTI secara terbuka mempropagandakan penerapan khilafah di Indonesia supaya menjadi Daulah Islamiyah (Negara Islam) dan tidak menjadi negara kafir atau thoghut.
Prinsip-prinsip negara versi HTI sebagai berikut :
1.) Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah. Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam sebagaimana pada masa permulaan Islam. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan ijmak sahabat.
2.) Sistem pemerintahan dalam Islam bukanlah republik dan juga bukan demokrasi. Sistem buatan manusia yang menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat. Rakyat yang memiliki hak mendatangkan penguasa dan mencopotnya. Rakyat pula yang memiliki hak menetapkan konstitusi dan undang-undang. Sementara kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam adalah milik syara’ bukan milik rakyat. Umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Yang menetapkan hukum adalah Allah SWT.
3.) Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarkhi). Islam tidak mengakui sistem kerajaan (monarkhi), di mana pemerintahannya bersifat turun temurun. Sistem pemrintahan Islam tidak diwariskan. Khalifah bukan seorang raja, melainkan dia adalah wakil dari umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat dengan keridhaan untuk menerapkan syariah Allah kepada umat.
4.) Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium yang sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum. Imperium menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal pemerintahan, keuangan dan perekonomian. Islam dalam pemerintahan adalah menyamakan antara semua rakyat yang diperintah di seluruh bagian daulah.
5.) Sistem pemerintahan Islam bukan federasi yang daerah-daerahnya terpisah dengan kemerdekaan sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum (federal). Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, di dalamnya berbagai daerah dan propinsi dinilai sebagai bagian dari satu negara yang sama. Keuangan daerah-daerah semuanya dinilai sebagai satu keuangan dan satu neraca anggaran yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
B. Pertanyaan :
1.) Bagaimana hubungan antara agama dan negara dalam pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah?
2.) Apakah negara Indonesia menurut penganut Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai mayoritas umat Islam Indonesia termasuk negara kafir (Darul Kufri)?
C. Jawaban :
1.) Untuk mengetahui pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang hubungan antara agama dan negara, mari kita simak pendapat para tokoh berikut ini :
a.) Al-Imam Al-Mawardi, perumus pertama Fiqih Siyasah, mengatakan :
الامامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Kepemimpinan itu diciptakan untuk menggantikan peran kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia” (Al-Ahkamus Sulthaniyah halaman 5).
b.) Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali) memiliki pandangan yang sangat baik tentang hubungan agama dan negara sebagai berikut:
ولا يتم الدين إلا بالدنيا. والملك والدين توأمان؛ فالدين أصل والسلطان حارس، وما لا أصل له فمهدوم، وما لا حارس له فضائع، ولا يتم الملك والضبط إلا بالسلطان
“Dan agama tidaklah sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan pondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan roboh, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”(Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, 1/17)
c.) Al ‘Allamah Ibnu Khaldun mengatakan dalam Muqaddimah-nya :
والخلافة هي حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها، إذ أحوال الدنيا ترجع كلها عند الشارع إلى اعتبارها بمصالح الآخرة، فهي في الحقيقة خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
“Khilafah adalah upaya langkah membawa manusia ke arah yang sesuai pandangan syariat dalam mencapai maslahat kehidupan mereka baik akhirat dan dunia. Karena seluruh maslahat dunia ini menurut syariat Islam akan bermuara pada maslahat akhirat. Pada hakikatnya khilafah itu berasal dari Pemilik Syariat dalam rangka menjaga agama dan mengatur dunia”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 2/518).
Dari uraian di atas dapat diketahui pandangan Ahlussunnah Waljamaah, bahwa agama dan negara mempunyai hubungan saling melengkapi, keduanya tidak bisa dipisahkan secara frontal sehingga menjadi dua dimensi yang berhadap-hadapan. Tetapi hubungan keduanya tidak harus dalam bentuk formalistis, tetapi cukup dalam bentuk substantif. Artinya negara tidak harus bersimbul agama dan tidak harus dipimpin oleh seorang khalifah. Berbeda dengan pandangan Islam Radikal yang menganggap hubungan antara agama dan negara harus dalam bentuk formalistis, dalam arti negara harus bersimbul agama dan dipimpin oleh seorang khalifah. Dan berbeda pula dengan pandangan Islam Liberal yang menganggap bahwa keduanya terpisah sama sekali dan tidak boleh saling mencampuri.
2.) Sesuai dengan keputusan Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936 dan dikuatkan dengan keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo Jawa Timur tahun 1984, bahwa negara Indonesia bukan “Negara Kafir”, tetapi justru dinamakan “Negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam, walaupun pernah direbut oleh penjajah kafir, tetapi nama negara islam tetap melekat selamanya, dan meskipun tidak bersimbul Islam secara formalistik, karena sifat keislamannya bersifat hukmiyah (حكمية)bukan bersifat shuriyah (صورية).
Dasar dalil keputusan tersebut diambil dari kitab Bughyatul Mustarsyidin karangan Sayed Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal dengan Syeikh Ba’lawi, pada bab Al-Hudnah wal Imamah, redaksinya begini :
مسألة : كل محل قدر مسلم ساكن به في زمن من الأزمان يصير دار إسلام تجري عليه أحكامه في ذالك الزمان ومابعده وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لاحكما فعلم أن أرض بتاوي وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها قبل الكفار
“Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia menjadi ‘Negara Islam’ yang ditandai berlakunya hukum-hukum Islam pada masa itu dan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan umat Islam telah terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan ‘Negara Perang’ hanya merupakan bentuk formalitas dan bukan bentuk hukmiyah (substansial). Dengan demikian diketahui bahwa tanah Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah ‘Negara Islam’ karena umat Islam pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir”.
D. Referensi :
1. Al-Mawardi, Al-Imam, Al-Ahkamus Sulthaniyah, Darul Fikr, Beirut.
2. Al-Ghazali, Al-Imam Abu Hamid, Ihya Ulumiddin, Darul Fikr, Beirut.
3. Ibnu Khaldun, Al-Imam Abdurrahman, Al-Muqaddimah, Darul Fikr, Beirut.
4. Hasil Keputusan Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin, tahun 1355 H atau 1936 M.
5. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo Jawa Timur Tahun 1984.
6. Al-Hafni, Prof. Dr. Abdul Mun’im, Ensiklopedia, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2005.
7. Royyan, Muhammad Danial, Haqiqatu Ahlissunnah Waljamaah, Menara Kudus, Jogjakarta, 2011.
Sumber: Situs PBNU