Shalat merupakan ibadah istimewa. Keistimewaan itu ada pada posisinya sebagai ruang komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Sebagaimana layaknya proses komunikasi, dalam shalat juga diandaikan adanya saling kirim dan terima pesan. Baik pesan itu berbentuk laporan maupun sekedar informasi kehadiran.
Yang jelas diantara dua pihak harus ada saling pengertian dan saling memahami. Hal ini akan terjadi jika keduanya berada dalam satu tingkat yang sama, dan akan semakin jelas jika keduanya berada dalam frekuensi yang sama pula.
Oleh karena itu, shalat menjadi salah satu kegiatan yang cukup berat bagi seorang hamba karena dia harus bolak-balik dari alam bawah ke alam atas, dari dunia kasar ke alam halus, dari ruang kemanusiaan ke ruang ilahiyyaah, meskipun proses ini tidak melibatkan unsur jasmani. Sebagaimana seseorang menaiki tangga atau memanjat gunung. Inilah yang dalam bahasa para sufi diterangkan bahwa shalat merupakan mi'raj kecil.
Karenanya, tidaklah berlebihan jika seorang hamba mensakralkan shalat. Karena menghadap Tuhan tentunya jauh lebih berharga nilainya daripada beraudiensi dengan Presiden. Demikianlah berbagai peraturan dan protab syari’ah ditentukan semata untuk mempermudah proses komunikasi ini.
Meskipun seorang hamba telah asyik berkomunimasi dengan Allah swt. dalam shalatnya misalnya, dan telah meninggalkan dunia kemanusiaan. Namun tetap saja dia adalah manusia yang memiliki keterbatasan secara fisik dan materi.
Maka, masalah yang muncul kemudian adalah bagaimanakah jika urusan teknis mengganggu komunikasi itu, apakah dapat dianggap menggugurkan shalat? misalnya menelan ludah atau riak. Bisa jadi keduanya baik ludah maupun riak tidak mengganggu komunikasi seorang hamba dengan Tuhannya, akan tetapi tinjauan secara syari’ah bisa lain.
Menelan ludah yang bersih dari percampuran sesuatu, seperti bekas-bekas makanan ataupun lainnya tidaklah membatalkan shalat sebagaimana juga tidak membatalkan puasa. Berbeda jika sengaja menelan ludah yang telah tercampur dengan sisa-sisa makanan. Maka, jelas membatalkan shalat, sebagaimana membatalkan puasa juga. Akan tetapi jika seseorang tidak bisa lagi membedakan apakah ludah yang ada itu bercampur sisa-sisa makanan ataukah tidak, dan kemudian tertelan, maka hal itu tidak membatalkan shalat. Sebagaimana juga riak yang tiba-tiba ada di dalam mulut dan tidak terhindarkan lagi sehingga tertelan, itu pun tidak membatalkan shalat. sebagaimana diterangkan dalam kitab Syarah Sittina Masalah :
فائدة قال ولوجرى ريقة بباقى طعام بين اسنانه وعجز عن تمييزه ومجه لم يضر كما فى الصوم ومثل ذالك مالونزلت نخامة ولم يمكنه امساكها.
Faidah : Telah berkata Syekh Muhammad Ar-Ramli: Jika mengalir ludahnya bersama sisa makanan yang ada diantara gigi-giginya dan (dia) tidak bisa membedakannya dan tidak bisa mengeluarkannya dari mulutnya (menelannya), tidaklah mengapa, sebagaimana juga pada puasa. Dan sama halnya, jika riak turun dan tidak memungkinkan dia menahannya.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU
ADS HERE !!!